CoA - Di zaman sekarang, kita sering menjumpai fenomena di mana beban pendidikan anak lebih banyak dipikul oleh ibu. Ibu yang mendampingi anak belajar, mengajarkan nilai-nilai moral sehari-hari, hingga mengarahkan ibadah dan akhlak mereka. Sementara itu, ayah lebih banyak berperan sebagai pencari nafkah dan jarang terlibat langsung dalam mendidik anak. Pola ini seakan sudah dianggap wajar dalam banyak keluarga, padahal bila ditinjau dari sudut pandang Al-Qur’an, pembagian peran yang demikian justru kurang tepat. Membiarkan pendidikan anak hanya ditopang oleh ibu berarti mengabaikan peran besar ayah yang sebenarnya sangat ditekankan dalam Wahyu.
Kesalahan pemahaman ini sering berawal dari anggapan bahwa tanggung jawab utama ayah hanyalah mencari nafkah. Padahal, Al-Qur’an berulang kali menampilkan ayah sebagai figur pendidik, pemberi nasihat, dan penanam nilai iman dalam diri anak. Jika ayah hanya berperan sebagai penyedia kebutuhan materi, sementara nasihat, bimbingan, dan teladan iman dibiarkan sepenuhnya kepada ibu, maka anak akan kehilangan keseimbangan dalam tumbuh kembangnya. Sebab, kehadiran ayah bukan sekadar pelengkap, melainkan salah satu fondasi utama dalam pembentukan karakter anak.
Jika kita menelusuri Al-Qur’an, tampak jelas bahwa tanggung jawab mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi beriman dan berakhlak mulia banyak ditonjolkan melalui sosok ayah. Berulang kali Kitab suci ini menampilkan percakapan seorang ayah dengan anaknya, berupa nasihat, arahan, dan bimbingan iman. Kisah Luqman al-Hakim yang menasihati anaknya tentang Tauhid, Sholat, dan akhlak merupakan contoh paling gamblang. Demikian pula Nabi Ya‘qub AS yang berwasiat kepada anak-anaknya menjelang wafat, atau Nabi Ibrahim AS yang mengajak Ismail untuk taat pada perintah ALLAH SWT, semua menggambarkan ayah sebagai sosok pendidik utama dalam keluarga. Peran ini sejalan dengan kedudukan ayah sebagai qawwam, pemimpin rumah tangga yang memikul tanggung jawab moral dan spiritual terhadap keluarga.
Sementara itu, Al-Qur’an juga tidak mengabaikan peran ibu, namun menampilkannya dengan nuansa yang berbeda. Interaksi ibu dengan anak dalam kisah-kisah Qur’ani lebih banyak menyoroti aspek kasih sayang, pengorbanan, dan doa. Ibu Nabi Musa AS, misalnya, digambarkan dengan perasaan penuh cinta sekaligus keberanian saat melepaskan bayinya ke sungai demi menyelamatkan nyawanya. Ibu Maryam disebut karena doanya yang tulus ketika mengandung anaknya. Maryam sendiri diperlihatkan sebagai sosok ibu yang penuh kesabaran dan pengorbanan dalam mengasuh Nabi Isa AS. Semua ini menunjukkan betapa besar peran ibu dalam menguatkan anak dengan cinta dan doa, sekaligus menjadi teladan ketabahan.
Dengan demikian, Al-Qur’an memberi penekanan yang berbeda kepada kedua orang tua. Ayah lebih banyak ditampilkan sebagai pemberi nasihat, penanam nilai-nilai iman, dan pembimbing moral anak, sedangkan ibu lebih banyak hadir sebagai simbol kasih sayang, pengorbanan, dan kekuatan doa. Dua peran ini bukanlah hal yang terpisah, melainkan saling melengkapi. Pendidikan iman dan akhlak anak tidak akan sempurna tanpa keseimbangan antara bimbingan rasional-spiritual seorang ayah dan kelembutan emosional-spiritual seorang ibu. Maka, yang harus diperbaiki dalam masyarakat modern adalah kesadaran bahwa ayah juga wajib turun tangan mendidik anak secara langsung, bukan hanya menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada ibu. Dengan keterlibatan ayah yang aktif, keluarga akan lebih selaras dengan nilai-nilai Qur’ani dalam membentuk generasi yang kokoh iman dan akhlaknya.