Jejak Gurindam Dua Belas dalam Lahirnya Bahasa Indonesia



CoA - Negara Indonesia sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa. Tapi menariknya, bahasa nasional kita bukan bahasa Jawa, melainkan bahasa Indonesia yang akar sejarahnya berasal dari bahasa Melayu. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan: mengapa bangsa yang mayoritas Jawa justru memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan? Jawabannya tidak sesederhana jumlah penutur, melainkan terkait dengan sejarah panjang, politik kebangsaan, dan nilai kesetaraan yang ingin dijaga sejak awal berdirinya Indonesia.

Sejak berabad-abad sebelum Indonesia merdeka, bahasa Melayu sudah hidup dan berkembang di kepulauan Nusantara. Di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar dalam perdagangan, pemerintahan, hingga penyebaran agama. Letak Sriwijaya yang strategis di jalur perdagangan internasional membuat bahasa Melayu menyebar luas, dari Sumatra hingga Maluku. Karena peranannya yang lintas wilayah, bahasa ini kemudian dikenal sebagai “lingua franca” bahasa penghubung atau bahasa gaul antar bangsa di Nusantara.

Ketika pergerakan nasional Indonesia mulai tumbuh pada awal abad ke-20, para pemuda dan tokoh bangsa menyadari pentingnya memiliki bahasa persatuan. Dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, lahirlah ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, dengan salah satu bunyinya: “Kami menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Bahasa Indonesia yang dimaksud kala itu sebenarnya adalah bahasa Melayu Riau yang disempurnakan dan diberi nama baru agar menjadi simbol identitas bangsa, bukan milik satu suku saja.

Lalu, mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih, padahal penuturnya sangat banyak. Alasannya cukup mendasar. Bahasa Jawa memiliki sistem tingkatan bahasa (ngoko, madya, krama) yang mencerminkan perbedaan status sosial antara penutur dan lawan bicara. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan yang menjunjung persamaan derajat, sistem bahasa seperti ini dianggap tidak sesuai dengan semangat kebangsaan. Selain itu, memilih bahasa Jawa bisa menimbulkan kesan dominasi satu suku atas suku lain, yang justru berpotensi memecah persatuan yang sedang dibangun.

Sebaliknya, bahasa Melayu dianggap lebih netral, sederhana, dan mudah dipelajari. Struktur bahasanya tidak mengenal tingkatan tutur yang rumit, dan banyak orang di berbagai wilayah Nusantara sudah mengenalnya melalui perdagangan dan pendidikan. Bahasa Melayu juga sudah digunakan dalam banyak karya sastra dan surat kabar sejak abad ke-19, sehingga bahan bakunya telah siap untuk dikembangkan menjadi bahasa nasional.

Keputusan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia adalah langkah visioner. Ia bukan hanya keputusan linguistik, tetapi juga keputusan politik dan budaya yang mencerminkan semangat inklusif. Dengan memilih bahasa yang tidak berasal dari suku mayoritas, para pendiri bangsa menegaskan bahwa Indonesia dibangun atas semangat persatuan dalam keberagaman, bahwa semua suku, bahasa, dan budaya memiliki tempat yang sama di bawah satu bendera.

Bahasa Melayu sendiri sebenarnya memiliki banyak dialek di Nusantara, mengapa pula bahasa Melayu Riau yang dipilih menjadi bahasa Indonesia?

Sebelum lahirnya istilah “bahasa Indonesia”, pusat perkembangan bahasa Melayu yang dianggap paling murni dan teratur berada di daerah Riau–Lingga, wilayah tempat Raja Ali Haji hidup pada abad ke-19.

Beliau adalah seorang Ulama, pujangga, dan pemikir besar Melayu, yang dikenal lewat karya monumentalnya Gurindam Dua Belas (1847). Tapi perannya bukan hanya sebagai penyair. Ia juga dianggap sebagai peletak dasar tata bahasa dan ejaan bahasa Melayu modern, yang kelak menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia.

Gurindam Dua Belas bukan sekadar kumpulan nasihat moral dan agama. Di balik isinya yang penuh petuah, karya itu menunjukkan penggunaan bahasa Melayu yang rapi, terstruktur, dan bakuPilihan kata yang halus tapi mudah dipahami, menggambarkan kekayaan dan fleksibilitas bahasa Melayu. Konsistensi bentuk dan pola bahasa, yang membuatnya mudah dipelajari lintas daerah. Gurindam Dua Belas menjadi salah satu contoh nyata bahwa bahasa Melayu mampu menjadi bahasa sastra dan ilmu, bukan hanya bahasa perdagangan atau lisan.


Post a Comment

Previous Post Next Post