CoA - Perilaku siswa yang dianggap nakal, membangkang, atau melanggar aturan adalah bagian dari dinamika pendidikan di berbagai belahan dunia. Tak cuma di Indonesia, negara2 di belahan dunia lainnya juga mengalami hal yang sama dengan siswa2 mereka.
Setiap negara juga memiliki cara merka sendiri dalam menangani siswa seperti ini. Namun, yang patut menjadi perhatian adalah ketika kekerasan fisik seperti memukul, mencubit, atau menampar masih digunakan sebagai bentuk disiplin di banyak sekolah di Indonesia. Negara-negara maju seperti Tiongkok dan Inggris justru telah mengembangkan sistem yang lebih terstruktur, manusiawi, dan berfokus pada pembentukan karakter, bukan sekadar hukuman fisik.
Tiongkok dikenal dengan sistem pendidikan yang kompetitif dan sangat disiplin. Lingkungan sekolah di sana penuh dengan tekanan akademik, jam belajar panjang, dan ekspektasi tinggi dari keluarga maupun masyarakat. Dalam konteks ini, siswa yang berperilaku buruk atau “nakal” dianggap mengganggu kestabilan dan reputasi sekolah. Namun, cara penanganannya tidak lagi mengandalkan kekerasan fisik seperti yang mungkin masih terjadi di negara-negara berkembang.
Pemerintah Tiongkok telah mengeluarkan regulasi tegas melarang guru melakukan hukuman fisik, termasuk memukul atau mempermalukan siswa di depan umum. Hukuman fisik dianggap tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan moral dan sosial.
Sebagai gantinya, sekolah di Tiongkok menerapkan sistem hukuman non-fisik yang bersifat edukatif, seperti penulisan pernyataan reflektif (surat permintaan maaf atau esai introspeksi), tugas tambahan berupa latihan akademik atau kegiatan sosial, sanksi kolektif ringan di mana seluruh kelas ikut bertanggung jawab atas perilaku satu siswa, sehingga menumbuhkan rasa saling jaga. Untuk kenakalan yang cukup berat akal dilakukakuna panggilan kepada orang tua. Panggilan kepada orang tua ini biasanya berujung pada pembinaan ketat di rumah karena budaya Tiongkok sangat menjunjung tinggi reputasi keluarga.
Meski tidak menggunakan kekerasan, tekanan psikologis dalam sistem ini sangat tinggi. Hal ini mencerminkan budaya kolektivisme Tiongkok, di mana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kebebasan individu. Namun tetap, kontrol dilakukan dalam kerangka hukum dan pendidikan, bukan kekerasan.
Berbeda dengan Tiongkok yang menekankan disiplin kolektif, Inggris menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan berorientasi pada dukungan psikologis siswa. Di negara ini, perilaku menyimpang dari siswa tidak langsung dikategorikan sebagai kenakalan, melainkan sebagai indikasi adanya kebutuhan khusus atau masalah yang belum ditangani.
Sistem pendidikan di Inggris memiliki beberapa karakteristik dalam menangani siswa bermasalah:
-
Pendekatan Intervensi Bertahap (Graduated Response)
Guru tidak langsung memberikan hukuman, melainkan mencatat perilaku siswa dan memberikan peringatan bertahap. Jika masalah berlanjut, siswa akan dirujuk ke staf pastoral atau konselor sekolah untuk penanganan lebih lanjut. -
Peran Konselor dan Tim Dukungan Belajar
Banyak sekolah di Inggris memiliki psychological support team yang terdiri dari konselor, pekerja sosial, dan spesialis perilaku. Mereka membantu siswa yang sering bermasalah dengan pendekatan kognitif-behavioral, bukan hukuman. -
Praktik Restoratif (Restorative Practice)
Dalam metode ini, siswa diajak untuk memahami dampak dari perilaku mereka terhadap orang lain, lalu diajak berdialog dengan korban untuk memperbaiki hubungan. Hal ini mengajarkan empati, tanggung jawab pribadi, dan keterampilan sosial. Sanksi Proporsional dan Bertujuan Edukatif
Jika hukuman perlu diberikan, bentuknya tidak melibatkan fisik sama sekali, melainkan:-
Detensi (menahan siswa setelah jam sekolah).
-
Larangan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
-
Penurunan level kepercayaan atau tanggung jawab.
-
Skors sementara, dalam kasus yang sangat berat.
-
-
Keterlibatan Orang Tua dan Lembaga Luar Sekolah
Penanganan tidak hanya melibatkan sekolah, tetapi juga orang tua dan layanan perlindungan anak jika diperlukan. Sistem ini menempatkan siswa sebagai individu yang perlu dibantu, bukan sekadar dihukum.